Friday, March 30, 2012





‘ Maafkan aku AR… seruku ketika Mas Ar mengajaku jalan-jalan disuatu sore yang indah. Karena ku tahu Mas Ar kelihatannya suntuk. Dan mas Ar seharusnya tahu juga kondisiku yang belum membaik setelah seminggu baru keluar dari rumah sakit. Kelihatan dengan jelas wajah Mas Ar begitu Bete dan wajah yang seperti artis papan atas di tahun Sembilan puluhan, terlihat dengan jelasnya ketika dia sedang ngambek kalau aku diajak menemani jalan keluar tidak bisa dipenuhi.
“ Sebenarnya kamu sakit apa sih Ra??? Tanya Mas Ardy pelan.
“ Cuma demam biasa aja Mas, mungkin kecapaian aja, karena kemarin di sekolah banyak sekali kegiatan”? Jawabku untuk menghibur dan menutupi Mas Ardy.
“ Bener…. ? Tanya Mas Ardy kembali. Kok kenapa kamu kemarin tiba-tiba pinsan di sekolah? Tanyanya kembali seperti seorang ditektiv yang di tugaskan untuk mencari tahu.
“ Sebenarnya penyakitku bukan kecapaian Mas… seruku dalam hati, ada sesuatu penyakit yang kata dokter aku tidak bisa hidup lebih lama lagi, dan penyakitku sudah menahun, seperti halnya penyakit yang semua orang wanita di dunia ini bakal di takutin, selain kematian hal yang paling fatal adalah tidak bisa memberikan keturunan.
“ Heeee… kenapa diam nona manisku? Seru Mas Ardy mengejutkan padangan kosongku. Sambil memandangi mata elang Mas Ardy yang begitu tajam menusuk ke relung hati ku.
“ Duh apakah benar vonis dokter terhadap penyakitku? Ya Allah mudah-mudahan salah apa yang dokter sampaikan melalui telephon, akh.. bila emang ini ajal yang harus aku terima sebagai Hambamu aku iklas, karena aku tahu Engkau sayang pada hambamu, yang selalu bertakwa kepadamu.. Gumanku dalam hati.
Tanpa sadar air mataku menetes, ku coba untuk berusaha tegar dihadapan orang yang telah memberiku sebuah pelita, harapan dan impian indah. Namun mampukah aku bertahan? Atau sekedar berjuang untuk aku hidupku, karena aku bakalan pergi meninggalkan orang-orang yang selalu menyayangi dan mencintaiku.
“ Ra eih.. kenapa menangis? Lihat ini aku bisa buat kamu tidak sedih, apa perlu saya hibur kamu dengan menyanyi dan main gitar?. Kok kamu aneh.. ada apa? Tanya Mas Ardy kembali.
“ Udah-udah? Kita nyanyi aja ya.. sambil Mas Ardy main gitar dan kamu dengarin aja disitu. Putri kecilku.. Rayu mas Ardy kembali.
Tidak lama kemudian Mas Ardy langsung menyabet gitar yang ada di ruang tamu. Di teras rumah dengan view luar sana pemandangan hijau, suasana yang asri di balik pohon pinus yang bersautan terdengan lirih dengan angin sore yang begitu spoynya kurasakan.
Dari balik gitar berdeting dan suara Mas Ardy yang begitu membuatku semakin perih, mana kala kelak aku tidak bisa menemanimu setiap saat dan waktu, aku tetap seperti tidak ada suatu hal yang terjadi dalam diriku, meski kadang pengin menjerit, dan ingin teriak sekencang-kecangnya. Tapi kusadar aku tidak bisa melawan takdirku bila suatu ketika Tuhan berkehendak. Hanya kepasrahan di jiwa ini yang senantiasa selalu ada dengan ketulusan dan keiklasan. Dan mestinya aku harus siap.
Setelah dokter memberitahu tetang penyakitku, semalaman aku tidak bisa tidur, hanya berserah layaknya aku sudah siap kapanpun yang Tuhan kehendaki, ku harus siap barang kali itu yang terbaik dari NYA buat aku, dan setiap orang di dunia inipun pasti akan merasakan hal yang sama dimana kelak manusia akan menuju pada gerbang Kematian.
Esok paginya aku sengaja tidak menunggu jemputan Mas Ardy, aku langsung berangkat kesekolah, selain aku coba untuk bisa sedikit menghindar, kurasa jauh lebih baik Mas Ardy ku pertemukan kembali dengan sahabatku yang suka padanya dulu. Jujur saja meski sakit tapi itu jauh lebih baik dari pada kelak Mas Ardy akan lebih sakit lagi bila aku tinggalkan. Buatku sakit sekarang tapi demi orang yang aku cintai bahagia adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa di ukur dengan apapun.
Sesampainya di sekolah aku hanya memandangi sekeliling kelas, dan di luar sana masih kelihatan sepi, hanya tukang kebun dan penjaga sekolah terlihat. Emamg sengaja aku datang lebih awal dari mereka karena aku merasa kangen dengan sekolahan ini, semenjak ku tinggalkan kemarin di rawat di Rumah sakit. Aku banyak ketinggalan pelajaran padahal sebentar lagi menempuh ujian.
Aku terduduk lemas, ketika aku ingat kata-kata dari dokter kalau kematianku sebentar lagi membuatku tidak percaya dengan semuanya. Rasanya aku telah mati, hanya raga yang bergerak, pikiranku sudah di alam sana entah seperti apa yang kelak terjadi, adakah orang yang menangisi aku? Atau adakah orang yang merasa kehilanganku? Atau ah..  berkecamuk semua di fikiranku membuatku tidak bisa konsentrasi penuh.
Aku sengaja mulai menghindar dari Mas Ardy selain demi kebaikan aku coba bilang kalau aku tidak cinta lagi, ku sudah bicarkan sama sahabatku untuk bisa mendapatkan perhatiannya, meski sahabatku awalnya menolak keinginanku tapi semua kulakukan demi orang yang saya cintai bahagia.
“ Ra ide kamu gila?? Kata Dya memecahkan lamunanku. Kamu fikir aku itu siapa? Ra aku itu sahabtmu dan kamu sudah seperti kakakku.
“ Apa-apaan si Ra?? Kamu udah stress.. Ra tatap aku? Tatap. Seru Dya.  aku masih saja diam tanpa sadar air mataku jatuh.
“ Please Dy aku butuh kamu? Dalam hal ini mau tidak mau aku melibatkan kamu, karena kamu yang bisa mendampingi Mas Ardy kelak bukan aku. Aku sadar itu, ingat dulu kamu juga suka kan? Jawabku dengan tegas agar aku tidak kelihatan menyimpan masalah besar dalam diriku.
“ Oke oke..? but aku tidak mengerti dengan jalan fikiranmu Ra? Apa kamu tega melihat Mas Ardy nanti  kelaknya tidak bahagia? Atau kamu sengaja ingin menjauh dari Mas Ardy, dia itu sayang banget ma kamu Ra? Seru Dya dengan nada agak tinggi.
“ Ya aku tahu Ra? Dulu aku suka Mas Ardy, tapi sekarang enggak Ra? Kok sekarang kamu jadi aneh gitu Ra? Aku nggak habis fikir dengan sikapmu yang sekarang ini. Aneh tau nggak…
“ udah Dy aku mohon.. kamu pengin tahu alasanku, papaku menjodohkan aku dengan anak temannya. Makanya aku takut papaku tahu, hubunganku dengan Mas Ardy gamana nanti? Seruku sambil memohon sama Dya.. please karena hanya kamu yang bisa selametin aku?. Seru Rara kembali memohon.
Tidak tega melihat Rara yang dulu ceria sebelum sakit, rara yang primadona di sekolahan ini, kenapa Rara berubah jadi murung, sepertinya ada tekanan di batin, ada apa sebenarnya yang terjadi di kamu Ra? Seru Dya dalam hati. Please ngomong, jangan kamu buat aku sahabatmu tambah bingung, kamu piker aku mau Ra mengorbankan diri akhirnya pertemanan aku dan kamu putus. Tidak Ra.. meski dulu pernah bersaing tapi sekarang realitanya Mas Ardy memilih kamu, sebagai bunga yang sampai kapanpun terus mekar dihatinya, dan aku tahu itu Ra.
Perubahan Rara semakin menjadi aku sudah kehilangan akal, sampai begitu bencinya kah sama Mas Ardy? Setiap perjumpaan membuat perihnya aku sebagai sahabat melihat episode yang Rara perankan.
Apa sebenarnya yang terjadi Ra, sebagai sahabatmu apa aku salah Ra? Ingin melihat kamu seperti dulu dengan Mas Ardy, selalu ceria dan selalu mejadi Idola sekolahan ini. Kamu sama Mas Ardy sama pinter sesuai dengan jurusannya. Dan kamu adalah pasangan yang cocok, serasi, selalu seia, sekata tapi kini semakin pudar dengan hari-hari yang selalu kalian lalui. Kalau boleh jujur aku menginginkan seperti dulu, tidak ada perubahan dalam diri kalian. Aku mengingikan yang terbaik buat hubungan kalian Ra.
Hari itu entah sudah berapa hari dan berapa bulan, sepertinya hari itu menjadi hari yang tidak bisa di kehendaki, aku merasa kaget ketika Rara melihat tangan Rara di tarik Mas Ardy, dari balik dinding kelas III IPA, aku mendengar apa yang terjadi di luar sana. Rara sepertinya tidak memperdulikan perasaan Mas Ardy lagi. Sepertinya ada sesuatu yang di sembunyikan Rara dan aku tahu sikap Rara tidak seperti itu.
“ Tunggu Ra? Di tariknya tangan Rara sampai Rara hamper jatuh di pelukan Mas Ardy.
“ Apa lagi Ar? Bukannya semua sudah selesai dan berakhir. Tolong jangan ganggu Rara lagi Ar? Pinta Rara sambil memohon dengan tatapan sendu.
“ Maksud kamu apa Ra? Kenapa kamu berubah, sikap kamu? Sebenarnya ada apa sih? Tolong jawab ra?  Tanya Ar kembali mempertayakan sikap dan tingkah Rara yang sebenarnya.
“ Ra aku semakin kalut, bingung dengan sikapmu? Salah aku apa Ra? Begitu mudahnya kamu memutuskan cinta kita, tanpa sebab yang jelas? Seru Ar kembali dengan nada kesel dan kecewa.
Terus terang aku mencintaimu Ar? Maafkan aku, aku tidak ingin melihat kamu menderita, dan aku tidak ingin melihat hidupmu hancur, dan kamu sebenarnya tidak tahu sebentar lagi aku akan pergi jauh dan tidak akan pernah kau temui lagi didunia ini. Kenapa kamu tidak pernah mengerti aku Ar semakin kau mengejar semakin hati ini sakit, dan semakin hati ini perih bahkan lebih parah.
Malam itu aku masih ingat ketika Ar datang ke rumah, dengan membawa setangkai mawar kesukaanku, dengan secarik kertas yang ia tinggalkan, dari balik jendela kamar aku melihat Ar dengan wajah penuh harap. Hati ini makin teriris, air mata tidak bisa kutahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya perlahan Ar tidak kulihat lagi di depan rumahku. Sepertinya Ar telah pergi. Dan berlalu dari pandanganku. Sesekali kuseka air mata ini dengan kedua tanganku. Maafkan aku Ar? Atas sikap dan tingkah ku yang tidak seperti dulu lagi. Sejujurnya ini demi masa depan kamu agar kamu bisa mendapatkan cinta yang hendak kembali kau gapai. Tidak dengan aku tapi mungkin dengan yang lain.
Malam telah bergayut menjelang sepi, suara jangkrik yang bersautan kudengar begitu memberikan pertanda untuk aku memejamkan mataku, dari balik kamar terdengar sayup-sayup lirih irama lagu almarhum Crisye yang di aransement ulang oleh Ariel membuat hatiku semakin tersayat.  Lagu itu yang  selalu Ar nyanyikan. Entah kenapa menjadi lagu pertanda buatku, tanpa sadari aku yang akan pergi dari dunia ini.
“ Mengapa terjadi.. kepada diriku.. aku tak percaya kau telah tiada… haruskah ku pergi tinggalkan dunia agar aku dapat berjumpa denganmu…”
Itulah sebait syair lagu favorite Ar. Sepertinya menjadi pertanda kalau lagu itu akan menjadi kenyataan.  Bibirku gemetar tak mampu menahan tangis air mata ku tanpa sadar menetes dan ku terduduk lemah di balik jendela kamarku. Tuhan bila kelak aku kau panggil izinkan aku untuk menunggu kekasihku yang sudah ku sakiti di surga, karena aku sangat sayang padanya. Jaga dia Tuhan seperti dulu aku sempat menjaganya. Panjatku kepada Tuhan.
Pagi itu aku terbangun seperti tidak berdaya, persendianku seperti mau copot, aku sudah tidak sadarkan diri kembali, sepertinya aku sudah berada di alam yang sudah digariskan dengan tidak menampik takdir sekuat tenaga aku berjuang untuk bisa hidup kembali, menikmati udara pagi yang selalu di temani kicauan burung di pagi hari. Gemersik airpun seperti tak kudengar entah dimana aku di bawa oleh alam krtidakberdayaanku. Aku hanya pasrah ketika benar seperti dokter memvonis penyakitku. Detik-detik yang kian kurasakan akan terjadi dimana aku belum sempat menorehkan perasaan baktiku, maapku kepada orang yang terkasih. Aku tetap terseyum bila kelak aku di panggil Tuhan agar orang yang ku tinggalkan iklas kan untuk aku pergi jauh dan jauh.
Dengan susah payah aku berjuang untuk bisa menatap kembali dunia ini yang penuh dengan warna, meski tak lagi kata indah bersenandung aku akan coba bernyanyi di akhir perjumpaan ku berarti untuk orang yang aku tinggalkan sungguh sakit, perih dan penuh dengan lara hati yang dalam.
Aku mulai menghindar dan terus menghindar, waktuku ku habiskan setiap istirahat di perpus yang tak jauh dari kelasku, mencoba membaca buku-buku yang bermanfaat yang kelak bisa membuatku tersenyum. Tanpa ketinggalan dyariku sebagai sahabat setia yang selalu menemani ketika kegalauanku menjadi bagian diri yang tidak terpisahkan. ‘
Jujur aku tidak sanggup dan belum sanggup untuk berhadapan sang pencipta ketika aku di panggilnya kapan, dimana aku berada. Setidaknya aku telah siap dengan segala kepasrahan diri yang semakin tidak sanggup untuk bisa di terima dengan keiklasan dan ketulusan.
Hari itu bibirku kenapa kelu tanpa sadar Ar sudah berada di depan ku, aku menjadi grogi yang sangat grogi. Perasaan ingin memeluk dan menangis di pundaknya mengadukan apa yang terjadi menjadiku sadar, Ar datang bersama Dya meski belum pacaran resmi. Kenapa hati ini tidak rela membiarkan kekasihku bareng sahabatku.
Aku mencoba alihkan pandangan ku keluar jendela meski perih dan sakit di hati ini aku mencoba untuk tegarkan agar aku sanggup beridiri diatas hatiku yang rapuh. Meski perih terasa dihati ini, di jiwa ini, ku harus kuat menepiskan bara api kecemburuan yang ada di hati ini.
“ Ra….??? Suara Ar lirih kudengar memanggilku. Aku tahu apa yang kau rasakan, dan aku juga merasakannya. Karena aku mencintaimu. Seru Ar kembali membuyarkan lamunanku.
“ Raga kamu boleh menjauhi aku, tapi batin kamu tidak bisa Ra? Aku tahu tatapan matamu tidak bisa berbohong. Meski kamu ngomong sama sahabatmu di jodohkan sama kedua orang tuamu. Itu tidak benar kan? Tanya Ar kembali, sambil mengait tanganku. Aku tetap saja diam membisu tanpa sepatah katapun. Yang ada perih, sakit seperti tersayat oleh sembilu.
“ Ar.. kamu salah, aku sama sekali tidak membohongi kamu? Jawbaku perlahan memperjelas kata Ar yang sempat di tanyakan. Kita tidak mungkin bersatu Ar? Sebentar lagi aku kedua orang tuaku menjodohkan aku dengan pilihannya. Kataku pada Ar.
“ Nggak mungkin… nggak … nggak.. ? jawab Ar tidak percaya sambil menggelengkan kepalanya.
“ Ra.. ? Ar memohon sambil duduk dan mencium tanganku, sambil menghiba memohon untuk aku tidak menerima perjodohan itu.  Air mataku kembali menetes. Sambil berlari meninggalkan Ar yang masih saja duduk lemah dan tidak berdaya.
Ku hapus air mataku, sambil berlari tanpa rasa malu kepada semua orang yang melihatku. Aku langsung menuju ke kelas, di ikuti langkah di belakangku Dya sahabatku. Aku sudah tidak sanggup dengan episode yang ku perankan Tuhan, aku tidak sanggup aku tidak sanggup dengan semua ini. Pintaku pada Tuhan.
“ Ra..? disodorkan sampu tangan Dya untuk menyeka air mataku, Dya hanya diam tak bergeming sedikitpun, Dya langsung memelukku dan tangisku semakin menjadi.
“ Dya …? Suatu ketika aku titip Dyari ini buat Ar…? Tapi jangan kamu buka, disitu yang akan menjelaskan kenapa yang terjadi dalam diriku. Pintaku pada Dya. Tolong jangan kasih tahu Ar.  Dya menganggukan kepalanya tanda setuju.
“ Ya Ra ku janji. Ku akan lakukan itu. Tapi kenapa? Apa yang terjadi dengan kamu Ra? Tanya Dya lagi sambil melepaskan pelukan seorang sahabat.
Aku hanya menggeleng, pertanda tidak ada apa-apa. Sambil tersenyum agar tidak Dya curiga padaku. Aku berusaha untuk tidak memperlihatkan gerak gerik ku agar tidak aneh dimata sahabatku.  Sebisa mungkin aku harus menutupinya.
Waktu yang di tentukan sepertinya tinggal  menunggu gederang Tuhan di tabuh dan aku harus siap kapanpun yang Tuhan kehendaki. Walaupun sakit yang kurasakan tidak sesakit bila melihat kekasihku yang sepertinya masih penasaran, aku juga tidak sanggup bila Ar lebih sakit lagi ketika aku harus meninggalkannya. Biarkan mutiaraku tidak remuk kelaknya akan jauh lebih baik.
Ujian telah usai suasana perpisahan  terasa haru, di malam perpisahan ketika aku di nobatkan menjadi murid yang berprestasi aku tidak hadir, karena sakitku yang harus berujung pada kematian semakin mendekat.  Vonis dokter bener adanya ku titipkan buku Dyariku kepada kedua orang tuaku untuk di sampaikan ke Dya sahabatku. Aku tinggal menunggu waktu tepat untuk berpulang, tubuhku lemah lunglai dan aku sudah tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu lagi kemana Tuhan membawaku, yang ada ku tahu saat itu kepasrahan diri dan tidak bisa berbuat apapun. Hanya buku  catatan Dyariku itu yang kutitipkan untuk orang yang terkasih. Biarkan ia tahu apa yang selama ini ku simpan dan tidak bisa terucapkan, karena aku ingin itu jawaban dari pertanyaan selama ini yang Mas Ar inginkan.
Dalam buku Dyariku.
Saat aku harus tinggalkanmu, aku tidak bisa memenuhi janjiku, karena sebuah goresan takdirku, cinta kita tidak akan pernah menyatu, eh.. kamu tahu nggak Ar ketika awal kita pacaran, kamu langsung tembak aku kalau kamu jatuh cinta padaku. Ah ngegombal ya sukanya kamu. Tapi Ingatkan…
Eh kamu masih ingat ketika ultahku kau kasih bunga mawar merah, ingat nggak…  ingatkan ketika kamu waktu itu hujan pagi kamu berlari kencang mengambil payung agar aku tidak kehujanan.  Dan kamu bilang jangan sampai yayangku sakit.. indah kan Ar saat it?
Kamu itu lucu imut, gemesin kadang juga jengkelin dan nyebelin, ah aku pernah kamu buat kesel kan? Ketika bersaing menjadi ketua OSIS. Kamu bilang kamu wakilnya aja ya…! Karena kelaknya kamu juga jadi ibu buat aku dan anak ku. Pasti kamu terseyumkan Ar??
Aku ingin selalu kamu terseyum Ar meski harapan tidak seindah keinginan dan terkuburnya mimpi-mimpi indah kita.
Aku tidak meninggalkanmu Ar, kita pasti akan ketemu, kamu yakin kan Ar? aku tunggu kamu Ar? mungkin tidak di dunia tapi disurga kelaknya Ar.
Ar jangan pernah kau alva untuk kidungkan lagu untukku ya. Lagu yang pernah kau nyanyikan sebelum aku tahu dokter memvonis penyakitku. Lagu itulah yang akan membuat hati kita menyatu. Meski dunia kita telah berbeda. Aku tahu aku tidak bisa penuhi janjiku, Maafkan aku Ar yang telah membuatmu selama ini bertanya-tanya. Karena aku tidak bisa melihat kekasihku menderita dan merasakan kepedihan yang sama seperti pedihnya aku, semua yang ku omongin itu tidak benar Ar? Aku tahu dihatiku hanya ada kamu, cinta suci kita biarkan ku bawa pergi untuk selamanya. Doaku Ar semoga kamu bahagia meski kamu tidak bersamaku lagi.
Aku
Rara

Air mata Ar menetes perlahan di kedua pipinya, bibirnya bergetar, dan Ar tidak percaya kalau Rara telah pergi untuk selamanya, diatas gundukan tanah merah bertabur bunga mawar batu nisan yang bertuliskan Rara  adalah kenyataan yang harus dihadapi, bahwa Rara telah tiada, perasaan kehilangan orang yang di cintai menjadikan ia sadar selama ini menghindar dan ngomong di jodohkan ternyata tidak benar, Rara hanya ingin orang yang di cintainya tidak menderita, begitu besar pengorbananmu Ra. Sungguh mulia hatimu yang tidak di miliki wanita didunia ini.
Percayalah Ra aku akan menyanyikan lagu itu untukmu, kalau aku tahu lagu itu adalah pertanda untuk apa aku selalu nyanyikan disaat kamu melawan perih dan sakitmu berjuang melawan sakit yang sangat luar biasa menyadarkan begitu berartinya dirimu untukku. Aku tidak sanggup Ra kau tinggalkan aku sendiri disini.  Kenapa Ra ketika kau melawan sakit yang sangat luar biasa tidak berbagi denganku. Malah kau menghindar. Dan sepertinya aku tidak ada dihatimu.
Kalau aku tahu kamu melawan sendirian mungkin kamu masih hidup Ra bisa melewati hari-harimu untuk kita bahagia. Tapi kenapa Ra kamu tidak pernah bilang dan tidak pernah memberitahu aku keluargamu. Kalau sakit yang kamu rasakan adalah fatal.
Kenapa Ra?? Kenapa kamu tidak pernah menceritakan semua ini, kenapa? Jerit Ar di hatinya.
Kamu tahu Ra, di hati ini selalu ada kamu? Sampai kapanpun kau selalu ada dan bernyanyi disini di hati dan jiwa ini.

Ra aku akan selalu kidungkan lagu itu untuk mu hanya untukmu, kamu tahu Ra aku sangat rindu kamu, kangen kamu, senyummu canda dan tawamu.
Ra ….  Kau tahu kan aku sedang bernyanyi untukmu. Kau dengarkan petikan gitar dari jari jemariku? Pasti kau sendang dengar di surge sana.
“ Mengapa terjadi kepada diriku… aku tak percaya kau telah tiada… haruskah ku pergi tinggalkan dunia agar aku dapat berjumpa denganmu “…
Untuk kekasihku Rara meski di dunia ini kamu tiada, tapi di hatiku kamu selalu ada dan selalu ada. Tunggu aku di pintu surga Ra…. Prastyamu Ardy.

Jakarta, Akhir maret 2012

0 comments: